Kamis, 08 Mei 2014

Kekerasan pada Tayangan Anak-anak di Televisi




Pada zaman sekarang, televisi merupakan media elektronik yang mampu menyebarkan berita secara cepat dan memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah tak terhingga pada waktu yang bersamaan. Televisi dengan berbagai acara yang ditayangkannya telah mampu menarik minat pemirsanya dan membuat pemirsanya ketagihan untuk selalu menyaksikan acara-acara yang ditayangkan, bahkan bagi anak-anak sekalipun televisi sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kesehariannya dan sudah menjadi agenda wajib bagi sebagian besar anak.
Dengan berbagai acara yang ditayangkan mulai dari infotainment, entertainment, iklan, sampai pada sinetron-sinetron dan film-film yang berbau kekerasan, televisi telah mampu membius para pemirsanya terutama anak-anak untuk terus menyaksikan acara demi acara yang dikemas sedemikian rupa. Tidak jarang, banyak anak-anak lebih suka berlama-lama di depan televisi daripada belajar, atau bahkan banyak anak yang hampir lupa akan waktu makannya karena televisi. Ini merupakan suatu masalah yang terjadi di lingkungan kita sekarang, dan perlu diperhatikan khusus bagi setiap orang tua untuk selalu mengawasi aktivitas anaknya.
Sebagian besar tayangan televisi adalah sinetron yang mengandung begitu banyak adegan-adegan kekerasan baik fisik, perkataan maupun mental. Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menyebutkan, menurut data AGB Nielsen (2008) bahwa berdasarkan survei komposisi penonton televisi menurut usia, penonton usia 5 sampai 15 tahun menempati porsi yang cukup besar, yaitu hampir 30%.
AGB Nielsen menyebutkan, tercatat dalam seminggu anak-anak di Indonesia menonton rata-rata 35 sampai 45 jam atau 1.560 sampai 1.820 jam setahun. Jauh sekali jika dibandingkan dengan jumlah jam belajar mereka yang tak lebih dari 1.000 jam setahun. Sementara untuk tayangannya, 80 judul program anak ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 168 jam per minggu.
Teori yang menyangkut dengan pembahasan kami adalah Pembelajaran Sosial. Teori Pembelajaran Sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat – isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi di dalam teori pembelajaran sosial, kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan kognitif internal untuk memahami cara belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik, kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Pada tahun 2006 terjadi kasus yang sempat menggegerkan pembaca berita, seorang siswa SMP diketahui meninggal akibat meniru adegan smackdown yang dilihatnya di televisi. kita mendengar ada banyak kasus dimana anak membanting temannya sendiri karena meniru adegan smackdown yang ditontonnya. Saat itu penulis juga mengalami sendiri permasalahan tersebut pada tahun 2006 menjadi guru di sebuah Sekolah Dasar di Kota Bandung menemukan kasus serupa dengan yang disiarkan di televisi. Seorang anak yang menendang dan membanting beberapa temannya ke lantai hingga sakit karena meniru adegan smackdown yang sering ditontonnya di televisi. Orangtua korban ada yang tidak mau terima dan melaporkan ke sekolah hingga perlu upaya perdamaian yang cukup rumit antara orangtua korban dengan orangtua pelaku.
Terry E. Lawson dalam buku Huraerah tahun 2007, mengkategorikan kekerasan pada anak yaitu:
A.      kekerasan secara fisik (physical abuse)
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong.
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
B.     Kekerasan secara verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal seperti pelakunya melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan ataupun kata-kata yang melecehkan anak.
C.     Kekerasan anak secara psikis
Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

Perkembangan anak pada usia 6-12 tahun adalah masa paling penting dalam perkembangan kepribadian. Pada tahap ini individu sangat dipengaruhi oleh orang tua, saudara, teman-teman sebaya. Pada tahap perkembangan ini anak melakukan proses pembelajaran secara modeling. Proses modeling adalah cara pembelajaran dengan melihat dan mengobservasi, serta menirukannya. Pada tahap ini anak masih kesulitan untuk mengambil keputusan yang baik dan buruk, khususnya tontonan di televisi yang ditonton anak-anak. Oleh karena itu, pada tahap perkembangan ini orang tua harus memantau secara langsung tontonan televisi yang layak untuk anak-anak.
Kami mengamati dua kartun anak-anak yaitu Tom and Jerry dan Masha and Bear. Kami melihat beberapa adegan kekerasan yang muncul dalam film anak-anak tersebut yang seharusnya tidak di tampilkan. Film-film tersebut seharusnya mendapatkan label R (remaja) atau BO (bimbingan orang tua), bukan SU (semua umur) dan A (anak-anak).


Berikut adalah tabel yang berisi analisis kekerasan dalam film Tom and Jerry dan Masha and Bear.
Nama Tayangan        : Tom and Jerry
Hari                            : Senin-Jum’at
Pukul                          : 13.30-14.15 WIB
Stasiun televisi           : ANTV
Bentuk kekerasan
Jenis kekerasan
Tampil (v) atau Tidak Tampil (x)
Kekerasan fisik
memukul
V
menendang
V
menusuk dengan pisau
X
Kekerasan verbal
membentak-bentak
V
menghina
V
memaki dengan kata-kata kotor
V
Memaki dengan sebutan nama-nama binatang
V


Kekerasan Psikologis

Dikucilkan

X

Diberi ancaman

V








Nama Tayangan        : Masha and Bear
Hari                            : Senin-Jum’at
Pukul                          : 16.00-17.00 WIB
Stasiun televisi           : ANTV



Bentuk kekerasan
Jenis kekerasan
Tampil (v) atau Tidak Tampil (x)
Kekerasan fisik
Menendang kaki
V
Didorong sampai jatuh
V
Kejatuhan pohon
V
Menendang bokong
V
Kekerasan verbal
membentak-bentak
X
menghina
X
memaki dengan kata-kata kotor
X
Memaki dengan sebutan nama-nama binatang
X

Kekerasan Psikologis
Dikucilkan
V
Diberi ancaman
X

Dalam satu menit tayangan  kartun, terdapat lima hingga tujuh kekerasan yang muncul, seharusnya tayangan ini tidak diperuntukan untuk anak-anak, contohnya dalam film Tom and Jerry banyak sekali adegan yang menunjukkan kekerasan secara fisik. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan anak-anak yang berusia antara 6-12 tahun akan meniru adegan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Hal tersebut sangat dikhawatirkan karena, anak berusia 6-12 tahun sesuai dengan teori pembelajaran sedang menggunakan proses modelling dan kartun yang mengandung kekerasan, seharusnya tidak diperuntukkan untuk anak-anak.

Daftar Pustaka
Feist, Jess dan Feist, Gregory J. 2010. Psikologi dan pengembangan diri. Salemba Humanika (Buku Satu, jilid tujuh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar